Bumi gonjang-ganjing. Langit kelap-kelap katon lir kincanging alis, risang maweh gandrung, sabarang kadulu wukir moyag-mayig saking tyas baliwur ong. Bumi berguncang, langit berkilat, terlihat seperti orang yang cinta melihat segala kehormatan dan keindahan dunia, gunung pun berantakan. .." Ane request: Penyuka wayang pasti pernah mendengar Suluk yang ditembangkan Dalang seperti ini Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelap Katon lir kincanging alis Risang maweh gandrung, sabarang kadulu Wukir moyag-mayig saking tyas baliwur, ong… Jika tidak salah, suluk ini ada sebagai penanda bahwa sebentar lagi akan ada kejadian besar yang mengubah cerita. Arti kata-per-katanya kurang lebih menggambarkan bumi yang bergoncang, langit yang berkilat karena petir tampak di mata orang yang sedang jatuh cinta. Gunung pun bergetar seperti apa yang terjadi di dalam hati sang penyandang cinta. Kalau tidak salah pula, Risang’ di sini maksudnya Gatotkaca, sang kesatria utama dalam lakon Mahabarata. Sepertinya kisah jatuh cintanya Gatotkaca pada Dewi Pergiwa menjadi salah satu cerita cinta favorit para Dalang dan pencinta wayang. Bumi yang bergoncang dan gunung yang bergetar di sini sepertinya adalah kiasan yang menggambarkan keadaan jiwa yang bergemuruh saat jatuh cinta. Tidak berlebihan rasanya bahwa cinta bisa merubah sudut pandang orang yang sedang menyandangnya, bahkan sang Gatotkaca sekalipun. Tapi apakah gemuruh ini yang menggerakkan orang-orang yang mengatasnamakan diri sebagai penggemar klub sepak bola Persebaya untuk merusak Stadion Gelora Bung Tomo GBT? Karena kecintaan’ pada Persebaya maka hancurlah fasilitas dari pajak rakyat itu gara-gara kekasih mereka kalah? Jika cinta, oleh sementara orang terutama di Indonesia, masih dimaknai sebagai sesuatu yang sangat euforik dan membabi buta, ya itulah hasilnya. Stadion yang akan menjadi salah satu host di Piala Dunia U-20 tahun 2021 mendatang itu rusak. Ya memang bisa dibangun lagi, tapi apa tidak susah membangun mental manusia supaya sedikit belajar menggunakan nalarnya dalam cinta’ bernafas euforia itu? Kesukaan pada hal-hal yang bersifat materi atau lahiriah bisa jadi adalah salah satu pemicu kebrutalan yang muncul bagaikan jamur akhir-akhir ini. Uang, mungkin. Atau keindahan lahiriah. Atau pentingnya’ mengejar nilai bagi murid atau mahasiswa. Apa saja boleh, yang penting mendapat uang sebanyak-banyaknya dan nilai setinggi-tingginya. Kabar revolusi mental sepertinya sudah nyaris tak terdengar. Barangkali juga karena cinta’. Ketika cintanya terlalu buta, semua menjadi benar. Sayangnya, bedanya dengan suluk tentang cinta dalam wayang adalah, jika gemuruh itu terjadi dalam pandangan seorang kesatria pembela kebenaran, yang cintanya hampir bisa dipastikan dimaksudkan untuk tujuan baik, gemuruh yang terjadi di GBT itu mungkin bukan karena cinta yang sesungguhnya. Atau hanya cinta pada dunia, kedonyan. Dulu GBK juga pernah dirusak massa menjelang perhelatan Asian Games 2018 yang akhirnya sukses menampakkan citra Indonesia sebagai tuan rumah yang baik. We are. Tapi kali ini, mengingat sepakbola selalu menjadi urusan riskan di tanah air, aku hanya bisa berharap semoga Piala Dunia U-20 mendatang akan sukses juga. Wahai, di mana kiranya kita bisa mencari warga Indonesia yang penuh cinta? Published by wlanggayasti A self-proclaimed eternal student of life. On Fridays, sorting her thoughts. View all posts by wlanggayasti Published November 1, 2019November 1, 2019 Post navigation
Tatkalasangkakala menggelegar niscaya bumi gonjang ganjing oleh: Dedi Suardi Terbitan: (1997) Tatkala sangkala menggelegar niscaya bumi gonjang ganjing oleh: SUARDI, Dedy Terbitan: (1997) Gonjang-Ganjing Perkawinan Terbitan: (1999)
Bila mampu melewati fase ini, kita patut bergembira menyambut Pemilu 2024, layaknya bersiap menikmati sebuah ANTARA - "Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelap". Begitulah ungkapan populer dalang ketika mengantar masuk ke babak gara-gara dalam pertunjukan wayang. Penggalan ungkapan yang dalam jagat pedalangan dikenal sebagai "ada-ada" itu, bisa pula ditujukan untuk menunjuk situasi Bumi sedang terguncang hebat dengan angkasa berkelebat-kelebat cahaya kuat. Atas suasana itu, kengerian melingkupi segala makhluk Bumi. Yang mungkin paradoks, guncangan tempat berpijak dan kelebatan pedang cahaya yang tajam menyambar-nyambar di angkasa itu, justru mengiringi para punakawan -Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong- hadir di panggung kelir. Mereka dianggap titisan makhluk kayangan turun ke Bumi. Kehadiran mereka dalam rupa rakyat kebanyakan, namun perannya tak boleh diingkari sebagai penuntun moral bendaranya yang elite, agar melangkah tepat dan bijaksana bagi kepentingan dan kemaslahatan umum. Begitulah kiranya boleh diceritakan bahwa dunia sekarang sedang terguncang oleh ancaman krisis global. Banyak penyebabnya, antara lain, dampak pagebluk COVID-19, perubahan iklim, dan perang Ukraina-Rusia yang menyeret keterlibatan banyak negara. Selain itu, kondisi keuangan dan perekonomian internasional, kenaikan harga bahan bakar minyak, persediaan pangan dunia, dan disrupsi disebabkan kemajuan teknologi informasi. Kalau Presiden Joko Widodo menyampaikan pentingnya seluruh elemen dan kekuatan bangsa menjaga stabilitas politik dan keamanan karena situasi global tidak menentu, terutama menyangkut perekonomian dunia, tentu ihwal tersebut sebagai pepeling atau peringatan penting bagi seluruh elemen negeri, supaya Bumi Indonesia tidak terjadi gonjang-ganjing. Cukup banyak negara saat ini kondisinya sedang terpuruk sebagai salah satu dampak pandemi COVID-19. Untuk mencontohkan situasi sulit, rumit, dan ketidakpastian global, Presiden Jokowi menggunakan diksi "antre" terhadap 28 negara yang sekarang ini sedang membutuhkan uluran bantuan Dana Moneter Internasional. Dengan mengutip lembaga-lembaga internasional, disebutkan pula adanya 66 negara rentan ambruk dan 345 juta orang di 82 negara menghadapi krisis pangan. Oleh karenanya, Presiden Jokowi menyampaikan pesan tentang pentingnya stabilitas politik dan keamanan agar tetap dijaga, antara lain, melalui pertemuan dengan para pimpinan partai politik, termasuk dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri di Batutulis, Bogor, pada 8 Oktober lalu. Selain itu, melalui pengarahan kepada para petinggi dan perwira Polri dalam berbagai kesempatan penting terkait lainnya yang dijalani Presiden. Secara khusus di hadapan petinggi Polri, Presiden minta mereka mempertajam kepekaan terhadap ancaman krisis, salah satu tidak menjalani kehidupan sehari-hari yang hedonistik. Tentu saja laku hedonisme juga bukan jalan yang baik untuk kalangan masyarakat lainnya, terlebih di tengah ancaman gonjang-ganjing global sekarang ini. Bahkan, untuk menjaga stabilitas politik pun, salah satu senjata pamungkas berupa perombakan kabinet bukan hal yang muskil ditempuh oleh Jokowi. Guncangan besar setidaknya terjadi di dalam negeri beberapa waktu terakhir, seperti dalam kasus penembakan melibatkan jenderal polisi, penangkapan perwira tinggi polisi dalam dugaan kasus narkoba, tragedi Kanjuruhan yang menelan 132 jiwa dan ratusan lainnya terluka, serta munculnya pencalonan bakal calon presiden oleh partai politik pendukung pemerintahan dengan figur yang dianggap berseberangan dengan kepemimpinan Jokowi. Belum lagi yang terasa menekan situasi makin sulit dalam kehidupan publik, khususnya kalangan bawah, terkait dengan kebijakan penyesuaian harga bahan bakar minyak, tekanan inflasi, dan rentetan bencana alam di berbagai daerah sebagai dampak cuaca ekstrem akhir-akhir ini. Panggung persiapan menuju Pemilu 2024, baik yang dikerjakan penyelenggara pemilihan sesuai regulasi maupun manuver para elite politik dan berbagai partai politik, seakan kelir berbeda dengan ancaman situasi global yang berkelindan dengan pilu lainnya sedang dihadapi di dalam negeri. Partai politik dan para elite seakan kehilangan orientasi mulia berpolitik secara bermartabat karena terburu-buru mendekati kursi puncak kekuasaan, sedangkan sejumlah elite yang disebut-sebut memiliki kans memimpin Indonesia sibuk merawat wajah karena memang jatah waktu dan ruang belum untuk mengungkap visi, misi, program kerja, dan beradu pandangan visioner untuk masa depan negeri. Sementara rakyat umum bagaikan kanvas sedang dilukisi imajinasi masa depannya berbarengan dengan situasi mengimpit kehidupan serba terguncang dan tak mudah, serta banjir informasi menuju pesta demokrasi. Dalam situasi perpolitikan Indonesia menuju Pemilu 2024 yang tanpa petahana ini, terasa menohok sindiran budayawan dan ilmuwan Mudji Sutrisno dalam "Krisis Peradaban" 2015 bahwa politik disempitkan dalam arti dan penghayatan sebagai politik kekuasaan. Berbagai manuver dan intrik politik mereka sekarang ini, terasa sedang untuk memenuhi syahwat berkuasa. Seakan cepat terpinggirkan narasi mereka tentang langkah, terobosan, dan strategi politiknya itu sebagai seni mengatur hidup bersama untuk kepentingan kebaikan bersama, meninggikan harkat, serta memperkuat martabat manusia. Begitu juga pandangan kontekstual tentang saujana geopolitik regional maupun global, seolah-olah dilibas kelebatan pedang ketidakpercayaan terhadap politik dan hawa ketidakpahaman keadaan terkini atas ancaman gonjang-ganjing global. Persoalan pemahaman geopolitik mungkin memang masih elitis berada di kalangan tertentu negeri ini, belum terdiseminasi secara luas menjangkau berbagai tataran masyarakat, apalagi mereka yang tinggal di dusun dan kawasan gunung. Pembicaraan tentangnya bagaikan jauh panggang dari api. Proses menuju pesta demokrasi 2024 memang harus dijalani sebagai kewajiban hidup berdemokrasi. Namun, kalangan elite dan parpol harus lebih cermat dan bijaksana bermanuver. Ancaman terjadinya gonjang-ganjing global semestinya menjadi pepeling elite dan partai, agar mereka senantiasa menyampaikan peringatan itu kepada seluruh elemen masyarakat hingga menembus menjadi pemahaman dan kesadaran kolektif. Dalam jagat global yang sedang terguncang saat ini, penting bagi masyarakat untuk waspada dan menjalani mitigasi dengan hidup hemat dan cermat, sederhana, sabar, serta tentunya ikhlas. Berhemat dan cermat menyikapi ketidakpastian zaman bukanlah sesuatu yang utopis. Bila mampu melewati fase ini, kita patut bergembira menyambut Pemilu 2024, layaknya bersiap menikmati sebuah pesta. Editor Achmad Zaenal M COPYRIGHT Š ANTARA 2022
Adapolio ada cacar. Ada difteri juga ada campak. Tidak Diragukan 56545. Dari Sicincin ke Bukittinggi. Bersama teman naik honda. Keampuhan vaksin tidak diragukan lagi. Berdasarkan pengalaman yang sudah ada. Jangan Terpengaruh 56546. Larilah kucing ke dalam semak. Terbang menjauh burung tempua. Walau gonjang-ganjing begitu banyak.
Magelang ANTARA - "Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelap". Begitulah ungkapan populer dalang ketika mengantar masuk ke babak gara-gara dalam pertunjukan wayang. Penggalan ungkapan yang dalam jagat pedalangan dikenal sebagai "ada-ada" itu, bisa pula ditujukan untuk menunjuk situasi Bumi sedang terguncang hebat dengan angkasa berkelebat-kelebat cahaya kuat. Atas suasana itu, kengerian melingkupi segala makhluk Bumi. Yang mungkin paradoks, guncangan tempat berpijak dan kelebatan pedang cahaya yang tajam menyambar-nyambar di angkasa itu, justru mengiringi para punakawan -Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong- hadir di panggung kelir. Mereka dianggap titisan makhluk kayangan turun ke Bumi. Kehadiran mereka dalam rupa rakyat kebanyakan, namun perannya tak boleh diingkari sebagai penuntun moral bendaranya yang elite, agar melangkah tepat dan bijaksana bagi kepentingan dan kemaslahatan umum. Begitulah kiranya boleh diceritakan bahwa dunia sekarang sedang terguncang oleh ancaman krisis global. Banyak penyebabnya, antara lain, dampak pagebluk COVID-19, perubahan iklim, dan perang Ukraina-Rusia yang menyeret keterlibatan banyak negara. Selain itu, kondisi keuangan dan perekonomian internasional, kenaikan harga bahan bakar minyak, persediaan pangan dunia, dan disrupsi disebabkan kemajuan teknologi informasi. Kalau Presiden Joko Widodo menyampaikan pentingnya seluruh elemen dan kekuatan bangsa menjaga stabilitas politik dan keamanan karena situasi global tidak menentu, terutama menyangkut perekonomian dunia, tentu ihwal tersebut sebagai pepeling atau peringatan penting bagi seluruh elemen negeri, supaya Bumi Indonesia tidak terjadi gonjang-ganjing. Cukup banyak negara saat ini kondisinya sedang terpuruk sebagai salah satu dampak pandemi COVID-19. Untuk mencontohkan situasi sulit, rumit, dan ketidakpastian global, Presiden Jokowi menggunakan diksi "antre" terhadap 28 negara yang sekarang ini sedang membutuhkan uluran bantuan Dana Moneter Internasional. Dengan mengutip lembaga-lembaga internasional, disebutkan pula adanya 66 negara rentan ambruk dan 345 juta orang di 82 negara menghadapi krisis pangan. Oleh karenanya, Presiden Jokowi menyampaikan pesan tentang pentingnya stabilitas politik dan keamanan agar tetap dijaga, antara lain, melalui pertemuan dengan para pimpinan partai politik, termasuk dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri di Batutulis, Bogor, pada 8 Oktober lalu. Selain itu, melalui pengarahan kepada para petinggi dan perwira Polri dalam berbagai kesempatan penting terkait lainnya yang dijalani Presiden. Secara khusus di hadapan petinggi Polri, Presiden minta mereka mempertajam kepekaan terhadap ancaman krisis, salah satu tidak menjalani kehidupan sehari-hari yang hedonistik. Tentu saja laku hedonisme juga bukan jalan yang baik untuk kalangan masyarakat lainnya, terlebih di tengah ancaman gonjang-ganjing global sekarang ini. Bahkan, untuk menjaga stabilitas politik pun, salah satu senjata pamungkas berupa perombakan kabinet bukan hal yang muskil ditempuh oleh Jokowi. Guncangan besar setidaknya terjadi di dalam negeri beberapa waktu terakhir, seperti dalam kasus penembakan melibatkan jenderal polisi, penangkapan perwira tinggi polisi dalam dugaan kasus narkoba, tragedi Kanjuruhan yang menelan 132 jiwa dan ratusan lainnya terluka, serta munculnya pencalonan bakal calon presiden oleh partai politik pendukung pemerintahan dengan figur yang dianggap berseberangan dengan kepemimpinan Jokowi. Belum lagi yang terasa menekan situasi makin sulit dalam kehidupan publik, khususnya kalangan bawah, terkait dengan kebijakan penyesuaian harga bahan bakar minyak, tekanan inflasi, dan rentetan bencana alam di berbagai daerah sebagai dampak cuaca ekstrem akhir-akhir ini. Panggung persiapan menuju Pemilu 2024, baik yang dikerjakan penyelenggara pemilihan sesuai regulasi maupun manuver para elite politik dan berbagai partai politik, seakan kelir berbeda dengan ancaman situasi global yang berkelindan dengan pilu lainnya sedang dihadapi di dalam negeri. Partai politik dan para elite seakan kehilangan orientasi mulia berpolitik secara bermartabat karena terburu-buru mendekati kursi puncak kekuasaan, sedangkan sejumlah elite yang disebut-sebut memiliki kans memimpin Indonesia sibuk merawat wajah karena memang jatah waktu dan ruang belum untuk mengungkap visi, misi, program kerja, dan beradu pandangan visioner untuk masa depan negeri. Sementara rakyat umum bagaikan kanvas sedang dilukisi imajinasi masa depannya berbarengan dengan situasi mengimpit kehidupan serba terguncang dan tak mudah, serta banjir informasi menuju pesta demokrasi. Dalam situasi perpolitikan Indonesia menuju Pemilu 2024 yang tanpa petahana ini, terasa menohok sindiran budayawan dan ilmuwan Mudji Sutrisno dalam "Krisis Peradaban" 2015 bahwa politik disempitkan dalam arti dan penghayatan sebagai politik kekuasaan. Berbagai manuver dan intrik politik mereka sekarang ini, terasa sedang untuk memenuhi syahwat berkuasa. Seakan cepat terpinggirkan narasi mereka tentang langkah, terobosan, dan strategi politiknya itu sebagai seni mengatur hidup bersama untuk kepentingan kebaikan bersama, meninggikan harkat, serta memperkuat martabat manusia. Begitu juga pandangan kontekstual tentang saujana geopolitik regional maupun global, seolah-olah dilibas kelebatan pedang ketidakpercayaan terhadap politik dan hawa ketidakpahaman keadaan terkini atas ancaman gonjang-ganjing global. Persoalan pemahaman geopolitik mungkin memang masih elitis berada di kalangan tertentu negeri ini, belum terdiseminasi secara luas menjangkau berbagai tataran masyarakat, apalagi mereka yang tinggal di dusun dan kawasan gunung. Pembicaraan tentangnya bagaikan jauh panggang dari api. Proses menuju pesta demokrasi 2024 memang harus dijalani sebagai kewajiban hidup berdemokrasi. Namun, kalangan elite dan parpol harus lebih cermat dan bijaksana bermanuver.
Bumigonjang ganjing langit kelap-kelap. Syahdan permaisuri Dewi Banuwati sedang tidur bersama suaminya Prabu Duryudana. Ia pengang BB. Inilah wayang twit pagi-pagi ketika banyak ibu-ibu megal-megol senam pagi bersama Ooo,,Malam itu Dewi Banuwati main BB sama Arjuna, kekasih gelapnya..
Kaliini om lembu yang super duper ganteng akan menyamar menjadi seorang Dalankz. Dalankz gantenkz lebih tepatnya. Biasanya kan dalang maenin wayang dan merapal mantra "Hom wala hom bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelip seperti kerlingan matamu dsb", di dalam perwayangan om lembu yang gantenkz ini agak berbeda. Bedanya gimana? . 390 314 114 389 20 175 221 234

bumi gonjang ganjing langit kelap